Di era digital ini, meme telah menjadi lebih dari sekadar lelucon di dunia maya. Ia menjelma sebagai medium kritik sosial, alat pembingkai narasi, dan bahkan instrumen politik. Salah satu fenomena menarik yang muncul belakangan ini adalah bagaimana mahasiswa—khususnya mahasiswi—menggunakan meme untuk merespons keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dinilai kontroversial. Dalam beberapa hari terakhir, jagat media sosial dipenuhi meme satir yang menyuarakan keresahan, kekecewaan, hingga canda getir atas putusan-putusan hukum yang dianggap membuka celah penafsiran yang terlalu lebar.
Kemunculan meme yang dibungkus dengan visual dan teks ringan itu sebenarnya mengandung muatan serius. Mahasiswi, sebagai bagian dari generasi muda yang melek digital dan kritis terhadap isu sosial-politik, menjadi aktor penting dalam penyebaran wacana ini. Mereka tidak hanya menjadi konsumen informasi, tetapi juga produsen narasi tandingan. Meme menjadi senjata ampuh yang bisa menyebar luas, cepat, dan efektif memancing perdebatan publik, terutama ketika saluran resmi dianggap tak cukup mewakili suara masyarakat.
Salah satu hal yang menarik adalah bagaimana keputusan MK kerap kali justru mendorong publik untuk menafsirkan ulang batas antara hukum dan kepentingan politik. Ketika logika hukum dianggap "dipaksa", ruang tafsir mimpi44 menjadi liar—dan di situlah meme berperan sebagai alat pembingkai ulang kenyataan. Dalam meme, absurditas bisa dibuat lucu, namun di balik tawa itu terdapat kritik tajam terhadap legitimasi dan integritas lembaga. Ia menjadi bentuk perlawanan yang nyeleneh tapi mengena, khas generasi digital yang tak mau diam.
Fenomena ini menunjukkan bahwa diskursus hukum tak lagi eksklusif milik para ahli dan pejabat negara. Ia kini hidup di ruang publik, ditafsirkan ulang oleh anak muda dengan gaya mereka sendiri. Meme-meme itu, walau tampak remeh, menyiratkan bahwa kesadaran politik dan kepekaan terhadap keadilan sedang tumbuh di kalangan mahasiswa. Mereka tak hanya membaca hukum, tapi juga menafsirkan ulang maknanya sesuai dengan konteks sosial-politik saat ini. Dan dari sinilah, tafsir bukan sekadar soal teks hukum, tapi juga tentang siapa yang membacanya—dan untuk kepentingan siapa.